Pengertian Ijtihad : Fungsi, Tujuan, Syarat dan Contoh Ijtihad – Mungkin sebagian dari kita masih asing dengan kata ijtihad. Ya kata tersebut merupakan istilah dalam bahasa arab. Terkadang kita juga mendengar kata mujtahid. Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Dalam agama islam terdapat ijtihad untuk menghukumi perkara yang baru. Atau yang sebelumnya tidak di muat dalam al quran dan al hadist. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut terkait dengan pengertian pengertian ijtihad lengkap dengan fungsi, tujuan, syarat dan contoh ijtihad.
Daftar Isi
Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari bahasa arab yakni berupa lafad ijtahada yajtahidu ijtihadan yang memiliki makna mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut istilah, ijtihad dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan seseorang dalam menetapkan suatu hukum dengan cara mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh. Sedangkan kata ijtihad menurut bahasa ialah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Oleh sebab itu, sebuah ijtihad sangatlah sulit jika tidak ada unsur kesulitan dalam pekerjaannya maka bukan termasuk ijtihad.
Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan seseorang untuk mencari hukum syariat melalui metode yang khusus. Ijtihad dapat digunakan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis. Selain itu ijtihad juga memiliki peran penting dalam penetapan hukum Islam. Dalam kehidupan sehari-hari telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad.
Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad ialah untuk mendapatkan solusi hukum dari suatu masalah yang tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis dan harus di tetapkan hukumnya. Sehingga ijtihad memiliki kedudukan dan legalitas dalam menentukan hukum Islam. Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad. Adapun kriteria orang yang boleh berijtihad adalah sebagai berikut:
- Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam,
- Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah),
- Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas,
- Memiliki akhlaqul qarimah.
Macam – Macam Ijtihad
Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam, yaitu sebagai berikut:
- Ijma’: Ijma’ merupakan kesepakatan yang dibuat oleh para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum syarak. Ijma’ dilakukan untuk memutuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al-Quran dan sunnah rosul.
- Qiyas: Qiyas Merupakan tindakan mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah ada karena memiliki alasan yang sama.
- Maslahah Mursalah: Maslahah Mursalah merupakan sebuah cara dalam menetapkan suatu hukum yang memiliki dasar pertimbangan kegunaan dan manfaat dari perkara tersebut.
- Sududz Dzariah : Suatu pemutusan hukum atas hal yang mubah, makruh atau haram demi kepentingan umat.
- Istishab : Merupakan suatu penetapan hukum atau aturan hingga ada alasan tepat untuk mengubah ketetapan tersebut.
- Urf : Penepatan bolehnya suatu adat istiadat dan kebebasan suatu masyarakat selama tidak bertentangan denganAl-Qur’an dan Hadist.
- Istihsan : Suatu tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya karena adanya dalil syara yang mengaruskannya.
Syarat – Syarat Ijtihad (Mujtahid)
Seperti yang sudah kami jelaskan sebelumnya bahwa hanya ada orang-orang tertentu dan telah memenuhi syarat saja yang bisa melakukan Ijtihad. Dan berikut adalah syarat-syarat menjadi Ijtihad :
- Seorang mujtahid harus memahami tentang ayat dan sunnah yang terkait dengan hukum
- Harus memahami berbagai masalah yang telah di ijmakan oleh para ahlinya
- Harus mengerti bahasa arab dan segala ilmunya dengan sempurna
- Harus mengerti tentang nasikh dan mansukh.
- Harus mengetahui dan memahami tentang ushul fiqh.
- Harus memahami secara dalam tentang rahasia-rahasia tasyrie’ (Asrarusyayari’ah).
- Harus memahami secara mendalam tentang seluk-beluk qiyas.
Contoh Ijtihad
Contoh ijtihad yang dilakukan yakni, terjadi pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana terdapat peristiwa yang membuat para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah. Mereka bertanya tentang berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah?. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan dengan tarif yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim saat berdagang di negara asing.